Bengkulu Hits — Di tengah riuhnya suara ombak Pantai Panjang yang biasanya menenangkan, hari itu suasana berubah jadi tegang. Sebuah video berdurasi beberapa menit mendadak viral di media sosial menampilkan adu argumen antara pengunjung dan pengelola pondok wisata sederhana.
Video yang diunggah diakun Facebook dan Tiktok dengan cepat menyebar ke berbagai platform. Dalam hitungan jam, ribuan komentar berdatangan, kebanyakan berisi hujatan dan tuduhan. Semua bermula dari satu kalimat yang disebutkan dalam video itu: “Sewa pondok Rp200 ribu.”
Namun di balik gemuruh komentar netizen, tersimpan kisah manusiawi yang tak terlihat kamera.
Kisah seorang pekerja bernama Mala, dan seorang ibu bernama Magdalena, dua sosok yang kini menanggung beban psikologis dan sosial akibat salah paham yang berujung viral.
Suara yang Tersisih di Tengah Badai Komentar
Mala, perempuan berusia 60 tahun, sehari-hari bekerja di pondok itu dengan penghasilan tak seberapa.
Wajahnya yang sederhana kini kerap murung sejak video itu ramai diperbincangkan. Ia masih ingat jelas momen yang menjadi awal dari segalanya.
“Saya tanya baik-baik waktu itu, ‘Mau pesan apa, Bu?’ Mereka jawab, ‘Nanti dulu, kami mau makan dulu (dengan nada tinggi).’ Saya cuma bilang kalau nggak pesan makanan, nanti tetap kena sewa pondok. Itu saja,” tutur Mala, dengan suara bergetar saat ditemui oleh jurnalis Bengkulu Hits.
Ia tak menyangka, kalimat biasa yang seharusnya menjadi bagian dari aturan tempat kerja justru memicu amarah pengunjung.
“Tiba-tiba mereka bilang, ‘Viralkan aja! Viralkan aja!’ Saya cuma bisa diam. Saya panggil bos saya, karena saya hanya karyawan. Saya takut, tangan saya gemetar,” katanya pelan.
Sejak video itu menyebar, Mala mengaku sulit tidur. Telepon dari teman-teman terus berdatangan, sebagian menanyakan kebenaran, sebagian lainnya menatapnya dengan curiga.
“Saya malu, rasanya seperti orang salah besar. Padahal saya cuma bekerja sesuai aturan,” lirihnya sambil menunduk.
Pemilik pondok, Magdalena, juga turut menjadi sasaran komentar pedas. Padahal, di balik kesederhanaannya, Magdalena adalah seorang ibu yang berjuang menghidupi keluarga dari hasil sewa pondok di tepi pantai itu.
“Waktu Mala panggil saya, katanya ada pengunjung yang marah dan mau viralkan kami. Saya langsung datang. Tapi begitu sampai, mereka sudah memvideokan,” kenangnya, menahan napas panjang.
Dengan suara tenang tapi penuh kepedihan, ia mencoba menjelaskan bahwa biaya yang diminta bukan Rp200 ribu seperti yang beredar, melainkan hanya Rp150 ribu untuk tiga pondok yang digunakan oleh rombongan tersebut.
“Mereka datang pakai tiga mobil dan beberapa motor, bawa makanan sendiri. Kami nggak larang. Tapi karena pondok kami yang mereka pakai untuk makan dan duduk santai, wajar kalau kami kenakan sewa. Toh nanti kami juga yang bersihkan sisah makanan mereka,” ujarnya pelan.
Namun penjelasan itu tak mengubah apa pun. Setelah video viral, Magdalena justru menerima cibiran dan ancaman di kolom komentar.
Ada yang menyebutnya “pemeras”, ada pula yang menuduhnya “tidak punya hati”.
“Padahal saya sudah bilang baik-baik, kalau nggak mau bayar sewa atau pesan makanan, boleh pindah. Tapi mereka tetap duduk di situ. Sekarang nama kami rusak,” ucapnya sambil mengusap air mata.
Ketika Mencari Nafkah Halal Menjadi Hujatan
Magdalena mengaku, sebelum viralnya video itu, pondoknya cukup ramai. Pendapatan dari penjualan makanan cukup untuk menyambung hidup. Namun sejak kejadian itu, semuanya berubah.
“Sekarang banyak yang lihat kami sinis. Ada yang sengaja datang cuma buat foto-foto, terus ketawa-ketawa, bilang ‘jangan sampai disuruh bayar Rp200 ribu’. Rasanya perih sekali,” ujarnya lirih.
Baginya, pondok itu bukan sekadar tempat usaha, tapi sumber harapan keluarga. “Dari sini saya bisa bayar sekolah anak, bisa beli beras, bisa hidup serta mencukupi kehidupan orang lain seperti Mala yang bekerja di pondok saya. Tapi sekarang, semua orang melihat kami seolah kami penipu,” ucapnya, menatap kosong ke arah pantai.
Pelajaran dari Sebuah Video
Di era media sosial, satu video bisa mengangkat atau menjatuhkan hidup seseorang dalam sekejap.
Peristiwa ini menjadi bukti betapa cepatnya opini publik terbentuk sering kali tanpa verifikasi.
Pihak pengelola berharap, klarifikasi ini bisa meluruskan kabar yang telah beredar. Mereka tidak ingin melawan, hanya ingin didengar dan dipahami.
“Kami tidak marah, hanya sedih. Orang-orang menilai kami jahat, padahal kami hanya ingin bertahan hidup dengan cara yang halal,” ujar Magdalena pelan.
Kini, Mala masih bekerja seperti biasa, meski setiap langkahnya diiringi rasa waswas. Magdalena masih membuka pondoknya, meski pengunjung tak lagi seramai dulu.
Diantara desir angin pantai dan debur ombak, keduanya terus berjuang menegakkan hidup di tengah badai hujatan yang belum reda.
Di balik video yang viral itu, ternyata ada air mata yang tak sempat terekam kamera. Air mata seorang pekerja kecil dan seorang ibu yang hanya ingin mencari sesuap nasi dengan cara yang jujur. (NR)




