Bengkulu Hits — Konflik agraria yang melibatkan Forum Masyarakat Bumi Pekal (FMBP) dengan PT Agricinal semakin memanas. Mediasi yang telah berulang kali dilakukan tidak membuahkan hasil, memperpanjang deretan ketegangan antara masyarakat dan perusahaan perkebunan tersebut.
Puncaknya, FMBP mengirimkan surat resmi kepada ATR/BPN Provinsi Bengkulu pada 19 November 2024, sebagai langkah tegas untuk menyelesaikan konflik. Namun hingga hari ini, surat tersebut belum mendapat respons.
“Sikap diam ATR/BPN Provinsi Bengkulu menimbulkan tanda tanya besar bagi kami. Surat itu adalah upaya mencari solusi atas benang kusut konflik agraria ini,” ujar Ketua FMBP, Sosri, Senin (9/12/2024).
FMBP mendesak ATR/BPN membuka dokumen terbaru terkait Hak Guna Usaha (HGU) PT Agricinal secara transparan. Menurut mereka, dokumen ini penting untuk mengidentifikasi area yang sudah dilepaskan perusahaan sebagai hak masyarakat. Desakan ini diperkuat dengan adanya surat pernyataan resmi dari PT Agricinal yang turut diketahui oleh ATR/BPN.
Dugaan Pelanggaran oleh PT Agricinal
FMBP mengungkapkan dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Agricinal, termasuk pengelolaan lahan di kawasan sempadan sungai dan pantai yang seharusnya menjadi wilayah lindung. Selain itu, perusahaan tersebut juga disinyalir menggarap lahan di luar batas HGU tanpa izin resmi.
“Sejak masa berlaku HGU PT Agricinal berakhir pada 2019, tidak ada kejelasan mengenai pembaruan dokumen. Namun, perusahaan tetap beroperasi dan diduga memperoleh keuntungan besar. Hal ini berpotensi merugikan negara akibat hilangnya pendapatan dari pajak,” ucap Sosri.
Masyarakat juga mempertanyakan ke mana aliran pajak dari hasil pengelolaan lahan tersebut. Dugaan pelanggaran ini semakin memperkeruh konflik antara masyarakat dan perusahaan.
Tuntutan kepada Pemerintah dan Penegakan Hukum
FMBP mendesak pemerintah daerah, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, untuk turun tangan menyelesaikan konflik ini. Mereka meminta evaluasi menyeluruh terhforumadap proses perpanjangan HGU PT Agricinal, serta pengungkapan dugaan pelanggaran pengelolaan lahan.
“Ini bukan hanya soal hak masyarakat, tapi juga soal kerugian negara. Kalau perusahaan dibiarkan mengelola lahan tanpa kejelasan HGU, siapa yang bertanggung jawab atas potensi kerugian negara?” ujar Sosri dengan nada tegas.
Selain itu, FMBP juga melayangkan surat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pengawasan lahan di luar HGU serta Hak Guna Bangunan (HGB) milik PT Agricinal. Langkah ini diambil untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan lahan oleh perusahaan.
Hingga berita ini diturunkan, ATR/BPN Provinsi Bengkulu belum memberikan tanggapan resmi terkait surat yang dikirimkan oleh FMBP. Sikap diam ini semakin memunculkan spekulasi terkait ada atau tidaknya ketidakberesan dalam pengelolaan HGU PT Agricinal.
Kasus ini menjadi salah satu bukti bahwa konflik agraria masih menjadi isu krusial yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Dengan eskalasi tuntutan masyarakat, transparansi, dan penegakan hukum menjadi kunci utama untuk menyelesaikan persoalan ini secara adil. (NR)