Bengkulu Hits – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah (RM), sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap yang terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Pengumuman status tersangka tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata di Jakarta.

Dalam konferensi pers yang digelar pada Minggu malam, 24 November 2024. Alexander Marwata menjelaskan bahwa ketiga tersangka diduga terlibat dalam kasus pemerasan dan gratifikasi yang bertujuan untuk mendanai pelaksanaan Pilkada Bengkulu 2024.

Ketiganya dikenai sangkaan dengan pasal pemerasan dan gratifikasi, yaitu Pasal 12 huruf e serta Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut Alexander Marwata, penyelidikan kasus ini dimulai sejak Mei lalu, berdasarkan laporan dari masyarakat dan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang merasa keberatan atas pungutan yang diminta oleh RM untuk mendukung pencalonannya sebagai Gubernur Bengkulu dalam Pilkada 2024.

Menurut Asep Guntur, proses penangkapan oleh tim KPK tidak berjalan mudah seperti yang dibayangkan. Salah satu tersangka, RM, sempat melarikan diri menuju arah Padang, yang berjarak sekitar tiga jam dari Kota Bengkulu. Saat tim KPK mencoba menangkapnya, RM diketahui tidak berada di lokasi yang sebelumnya telah diawasi.

“Ketika tim KPK melakukan pengejaran, RM bergerak menuju arah Padang. Kejar-kejaran sempat terjadi sebelum akhirnya RM berhasil diamankan dan dibawa ke Polresta Bengkulu,” ujar Guntur.

“Penyelidikan ini sudah berjalan sejak Mei lalu. Jadi, jika ada yang menganggap kasus ini bagian dari permainan politik atau keberpihakan kepada salah satu calon, saya tegaskan hal itu tidak benar,” kata Alexander Marwata.

Ia menambahkan bahwa selama proses penyelidikan, KPK aktif berkomunikasi dengan pelapor dan berhasil mengumpulkan berbagai alat bukti, termasuk rekaman serta pesan WhatsApp.

Bukti-bukti tersebut menunjukkan secara jelas arahan dan permintaan dukungan dari Rohidin kepada sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu.

Pada puncak kasus ini, pada Jumat (22/11), KPK menerima laporan terkait dugaan penyerahan dan penerimaan sejumlah uang oleh AC dan IF.

Berdasarkan laporan tersebut, tim KPK segera bergerak menuju Bengkulu. Pada Sabtu (23/11/2024), sekitar pukul 07.00 WIB, beberapa pihak mulai diamankan untuk dimintai keterangan.

Penangkapan pertama dilakukan terhadap Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, SR, sekitar pukul 07.30 WIB. Selanjutnya, sekitar pukul 08.00 WIB, tim mengamankan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, SF. Kemudian, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, SD, serta Kepala Biro Pemerintahan dan Kesra, FEP, juga ikut diamankan. Pada sore hari, sekitar pukul 16.00 WIB, giliran Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, IF, yang ditangkap, disusul oleh Kepala Dinas PUPR, TS, pada malam harinya sekitar pukul 19.30 WIB.

“RM berhasil kami amankan di Serangai, Bengkulu Utara, sekitar pukul 20.30 WIB, sementara EV alias AC ditangkap di Bandara Fatmawati,” jelas Alexander Marwata.

Ia melanjutkan, dari delapan orang yang diamankan, hanya tiga yang ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap berperan aktif dalam tindak pemerasan.

Sementara itu, lima orang lainnya dinilai sebagai korban yang terpaksa melakukan perbuatan tersebut akibat tekanan dan intervensi dari RM.

“Mereka diancam bahwa jika tidak melaksanakan instruksi RM, jabatan mereka akan dicopot,” tambah Alex.

Dalam penangkapan tersebut, KPK juga berhasil menyita sejumlah barang bukti, termasuk uang tunai sekitar Rp 7 miliar yang terdiri dari mata uang Rupiah, Dollar Amerika, dan Dollar Singapura.

“Ada bukti rekaman, percakapan WhatsApp, serta uang sekitar Rp 7 miliar yang diduga berasal dari pungutan yang dikumpulkan dari PNS dan pengusaha,” ungkap Alexander Marwata.

Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama menjelang Pilkada Serentak 2024. KPK menegaskan komitmennya untuk memberantas tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu, termasuk terhadap pejabat tinggi daerah.

Proses hukum terhadap para tersangka akan terus berlanjut, dengan harapan mampu memberikan efek jera dan mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan di masa depan. (NR)