Bengkulu Hits – Pemerintah Kabupaten Lebong saat ini tengah menghadapi masalah serius terkait dualisme kepemimpinan di Sekretariat Daerah, yang berdampak luas terhadap jalannya pemerintahan dan masyarakat.

Ketegangan antara dua pejabat yang sama-sama mengklaim posisi Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda) memicu kebuntuan, terutama dalam pengelolaan anggaran dan keuangan daerah.

Yang mana, Mahmud Siam tetap bersikukuh bahwa dirinya adalah Pj Sekda yang sah, berdasarkan surat dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Sementara itu, Doni Swabuana juga mempertahankan jabatannya sebagai Pj Sekda yang sah, yang ditunjuk langsung oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Bengkulu.

Perbedaan ini menciptakan kebingungan di kalangan pejabat daerah, sehingga memengaruhi operasional berbagai instansi di Kabupaten tersebut.

Situasi ini semakin rumit ketika Plt Bupati Lebong, Fahrurrozi, mengeluarkan surat yang ditujukan kepada pimpinan Bank Bengkulu cabang Muara Aman.

Dalam surat tersebut, Plt Bupati menegaskan agar pihak Bank hanya memproses transaksi keuangan yang dilakukan atas nama Doni Swabuana.

Keputusan ini lantas memicu kekhawatiran mengenai kelancaran administrasi keuangan daerah, yang sudah mulai terhambat sejak munculnya dualisme kepemimpinan ini.

Menyikapi hal itu, Ketua DPRD Lebong, Carles Ronsen, menyoroti dampak serius dari konflik tersebut.

Ia menyayangkan terjadinya ketegangan yang berlarut-larut di antara dua kubu, dan menyebut bahwa ego individu telah mengalahkan kepentingan publik.

Carles, yang baru saja dilantik sebagai Ketua DPRD Lebong ini berjanji akan segera mengambil langkah-langkah konkrit untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“DPRD akan memanggil Plt Bupati serta kedua Pj Sekda versi masing-masing untuk mencari solusi yang cepat. Jangan sampai konflik ini menghambat roda pemerintahan yang seharusnya tetap berjalan,” jelas Carles.

Selain itu, Carles juga menegaskan bahwa banyak pemerintah desa kini mengalami kebingungan akibat ketidakpastian ini.

Mereka kesulitan merealisasikan Dana Desa (DD) tahap II karena tidak adanya kepastian siapa yang berwenang untuk menandatangani dokumen keuangan.

Hal ini sangat mengganggu program-program pembangunan yang seharusnya sudah berjalan sebagai mana mestinya.

“Kami akan terus mendesak penyelesaian masalah ini demi kelancaran pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat,” tambah Carles.

Di tengah polemik yang semakin kompleks ini, kepentingan publik harus tetap menjadi prioritas, tambahnya lagi.

Konflik dualisme kepemimpinan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena dapat membawa dampak negatif yang lebih luas, baik terhadap kelancaran administrasi pemerintah maupun stabilitas sosial dan ekonomi di Kabupaten Lebong. Tutur Carles.

Upaya untuk menyelesaikan konflik ini membutuhkan langkah tegas dan cepat agar pemerintahan kembali berjalan normal, dan masyarakat tidak lagi terjebak dalam ketidakpastian. ***